MEDAN | Sidang perkara dugaan korupsi seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) Kabupaten Langkat Tahun Anggaran (TA) 2023 yang menimpa mantan Kadis Pendidikan Dr Saiful Abdi Siregar serta mantan Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Eka Syahputra Depari, Rabu sore (9/7/2025) memasuki babak akhir.
Majelis hakim diketuai M Nazir memberikan kesempatan kepada tim JPU pada Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejati Sumut) untuk membacakan replik dilanjutkan dengan duplik dari tim penasihat hukum (PH) kedua terdakwa di Cakra 2 Pengadilan Tipikor Medan.
Menanggapi pertanyaan wartawan terkait isi nota pembelaan yang dibacakan penasihat hukum, Senin (7/7/2025) yang lalu, Saiful Abdi, mengaku sedih jika mengenang bagaimana dirinya bersama Eka Syahputra memperjuangkan para guru honorer agar bisa lebih diperhatikan dan hidup sejahtera.
“Terus terang, tujuan saya mau menerima jabatan sebagai Kadis Pendidikan pada sekitar delapan tahun lalu, memang karena saya ingin meningkatkan mutu pendidikan di daerah ini.
Termasuk dengan cara memperjuangkan agar guru-guru honorer bisa hidup lebih layak dan mendapat penghargaan atas dedikasinya dalam mengajar,” ujar Saiful yang ditemui seusai persidangan.
Saiful mengenang, pada tahun 2023 Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Langkat melaksanakan seleksi PPPK, khususnya tenaga guru memang memilih sistem Seleksi Kompetensi Teknis Tambahan (SKTT) yang diizinkan oleh Panitia Seleksi Nasional (Panselnas), yaitu Kementerian Pendisikan Riset dan Tehnologi, Menpan RB dan BKN Pusat.
Alasan kenapa Pemkab Langkat memilih sistem SKTT ini, sambungbya, disebabkan beberapa kali dilaksanakan seleksi, baik itu dengan sistem Computer Assisted Test (CAT) murni mau pun observasi, sama-sama punya kelemahan, atau tidak sesuai dengan harapan Pemerintah Daerah dan masyarakat.
Dijelaskannya, pada tahun 2020 dan 2021 Pemkab Langkat melaksanakan seleksi dengan sistem CAT murni dan passinggrade. Ternyata dengan sistem ini, persentase yang lulus sangat sedikit.
Pada saat itu, Pemkab Langkat melalui Kadis Pendidikan, langsung menyurati Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta, supaya passinggradenya diturunkan. Sebab yang lulus dan mencapai target dengan cara hanya 5% dari seluruh peserta seleksi.
”Alhamdulillah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan langsung menjawab surat kita tersebut dan akhirnya menurunkan angka passinggrade. Namun jangan salah, selain kebaikan, ternyata hasil evaluasi kita, kelemahan dari sistem CAT murni dengan passinggrade ini juga banyak,” urainya.
Dedikasi Kurang
Kebaikannya, lanjut Saiful, hasil evaluasi pada saat itu yang lulus adalah guru-guru yang pintar dan menguasai Teknologi IT. Namun setelah berjalan beberapa saat dan para guru PPPK ini ditempatkan di daerah atau sekolah yang kekurangan tenaga pengajar, ternyata loyalitas dan dedikasinya sangat kurang.
”Karena guru-guru hasil produk sistem ini cepat sekali meminta dan meloby melalui siapa saja untuk pindah ke perkotaan. Rata-rata yang lulus ini adalah guru-guru yang baru tamat kuliah dan belum banyak pengalaman mengajar, dan tidak siap ditempatkan di daerah pedalaman dan terpencil,” ujarnya.
Kemudian pada tahun 2022, Pemkab Langkat melaksanakan sistem rekrutmen guru melalui sistem observasi. Pada seleksi ini, yang menilai adalah guru senior, pengawas sekolah dan kepala sekolah melalui sistem yang ditentukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Tehnologi.
Tetapi rekrutmen guru dengan sistem ini juga banyak kelemahan. Karena sangat rentan terjadi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Sebab penilai tadi sangat dekat dengan guru-guru, di mana yang diluluskan adalah kerabat dan keluarga mereka saja. Karena metodenya tidak ada ujian, hanya penilaian observasi.
”Tahun 2023, Pemkab Langkat pun akhirnya memilih Sistem SKTT atau Seleksi Kompetensi Tambahan. Di mana hasil CAT murni bobotnya 70% dan SKTT 30%. Kenapa Pemerintah Kabupaten Langkat memilih sistem SKTT ? Sebab berdasarkan pengalaman 3 kali perekrutan sebelumnya, didapati terlalu banyak kekurangan dan kelemahan seperti yang kita sebut tadi.
Dokumen foto sidang lanjutan perkara dugaan suap terkait seleksi PPPK Kabupaten Langkat di Pengadilan Tipikor Medan. (MOL)
Hasil CAT murni itu, guru-guru yang sudah lama mengabdi tidak terjaring atau dengan kata lain rata-rata tidak lulus. Padahal mereka sudah ada yang 20 tahun mengabdi, bahkan banyak mereka berada di sekolah-sekolah pedalaman yang sangat terpencil. Seperti sekolah - sekolah yang berada di tengah lautan,” terang Saiful lagi.
Alhamdulillah, lanjutnya, berkat adanya sistem SKTT di tahun 2023 itu, rata-rata guru yang masa kerjanya sudah lama dan berada di daerah yang sangat jauh dari perkotaan, sudah terbantu dan mereka bisa lulus.
Kayuh Sampan
Dicontohkannya, seorang guru bernama Irianti, SPd. Dirinya sudah 10 tahun mengabdi di SD Negeri Jaring halus, Kecamatan Secanggang, yang sehari-harinya mengayuh sampan selama 10 tahun mempertaruhkan nyawanya selama hampir satu jam demi bisa mengajar di sekolah tempatnya bertugas.
”Alhamdulillah Tahun 2023 kemarin bisa lulus jadi ASN PPPK karena adanya sistem SKTT ini. Demikian juga banyak guru yang berada di tengah lautan seperti Pulau Kampai, Pangkalansusu seperi Muhammad Syahputra, SPd bisa lulus karena adanya sistem SKTT, juga banyak lagi guru-guru yang berada di daerah pedalaman, seperti Perlis, pedalaman Batang Serangan menjadi sangat terbantu,” sebutnya.
Soal adanya ribut-ribut dan demo yang dilakukan para guru honor yang tidak lulus, sangat disayangkannya. Padahal, pasca persoalan di tahun 2023 tersebut, Saiful Abdi bersama dengan Eka Syahputra telah berjuang ke Pusat agar quota untuk PPPK guru di Kabupaten Langkat dapat diperbanyak lagi.
Kuota Kurang
“Seleksi tahun 2023 bermasalah karena memang kuotanya kurang. Tapi tahun 2024, kementerian malah hanya menyediakan 300 formasi. Sedangkan tahun 2023 saja sudah seribuan yang tidak lulus. Akhirnya kita lobby pemerintah pusat, sehingga dibukalah kuota untuk 1.000 orang. Jadi orang-orang yang ribut dan berdemo karena tidak lulus di tahun 2023 itu, sudah kita perjuangkan. Tapi beginilah yang kita dapatkan!” ungkapnya.
Terkait itikad baik Pemkab Langkat itu, bukanlah hal mudah. Pengusulan yang dilakukan Saiful Abdi dan Eka Syahputra dari 300 menjadi 1.000 formasi, selain harus melobby persetujuan dari TAPD Kabupaten Langkat serta Badan Anggaran Maupun TAPD Pemkab Langkat sendiri.
Sarat Intrik
Di bagian lain dia menduga kuat perkara yang menjerat dirinya bersama Kepala BKD, sarat intrik politik alias ‘dipaksakan’. Misalnya sebagaimana diframing salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Kota Medan. Bahkan ada guru yang sebenarnya lulus PPPK di tahun 2023, ikut panggung politik, ikut nyaleg.
“Itu kan ada pidananya sebenarnya. Tapi begitu pun semoga masalah guru di Langkat bisa diminimalisir dan terselesaikan. Memang tidak semua bisa terpuaskan, tapi kita sangat menyayangkan banyaknya intrik-intrik kepentingan politik yang menunggangi masalah ini,” ujarnya.
Lebih disesalkan lagi, aparat penegak hukum mulai dari penyidik Polda Sumut serta penuntut umum, justru menempatkan Saiful Abdi dan Eka Syahputra di ‘kursi pesakitan’ dengan tuduhan korupsi. Padahal fakta terungkap di persidangan dengan jelas dan terang, seluruh saksi yang dihadirkan jaksa sama sekali tidak bisa memfaktakan terkait tuduhan suap tersebut.
Tak Satupun
”Sudah 18 kali persidangan. Sebanyak 61 saksi sudah dihadirkan baik itu dari kalangan Kasek, guru dan guru honor dan pejabat fungsional dan struktural di BKD dan Dinas Pendidikan Langkat, tetapi tidak ada satupun fakta dan kesaksian yang valid yang mengarah suap kepada Saiful Abdi dan Eka Stahputra Depari.
Demikian juga dijelaskan dalam pemaparan Ahli Pidana Dr Mahmud Mulyadi, SH MH dan Ahli Hukum Administrasi Negara Dr Dani Sentara SH MH, bahwa untuk menetapkan sesesorang itu menjadi tersangka, terdakwa mau pun terpidana, tidak boleh hanya dengan asumsi.
Apalagi berdasarkan penjelasan Dr Dani Sentara, dalam sistem SKTT ini tidak ada yang dilanggar oleh Kadisdik dan kepala BKD Langkat dalam penilaian SKTT tersebut.
Bebas
Hal itu pula yang membuat Jonson David Sibarani dan Togar Lubis, selaku Tim PH Saiful Abdi Siregar dan Eka Syahputra meminta agar majelis Hakim yang diketuai M Nazir dapat memberi putusan bebas kepada kedua kliennya.
”Kita berharap klien kita dibebaskan, diberikan putusan seadil-adilnya. Sebab sangat berbeda kasus ini dengan yang terjadi di Kabupaten Madina dan Batubara. Di mana di sana ada operasi tangkap tangan (OTT) dan didapati pula barang bukti.
Sedangkan dalam perkara yang kami tangani, tidak ada barang bukti dan tidak ada OTT. Penyidik kepolisian dan jaksa hanya menduga-duga dan berasumsi. Padahal kalau kita lihat dalam fakta persidangan, kasus ini tidak patut masuk ke ranah Tipikor.
Kalaupun cukup bukti, menjurus pidana umum yang kemungkinan dilakukan oleh kepala sekolah (kasek). Seperti kata pepatah, Menembak di atas kuda’. Fakta di persidangan, tidak ada sama sekali perintah melakukan pungutan apapun kepada para peserta PPPK.
Tapi diduga kuat karena terlalu banyak intrik politiknya, hal yang tak ada kaitannya pun dikait-kaitkan. Perkara ini terlalu dipaksakan,” pungkasnya.
Sementara pada persidangan lalu, Saiful Abdi Siregar dan kawan-kawan (dkk) masing- masing dituntut 1,5 tahun penjara dan pidana denda Rp50 juta subsidair 3 bulan kurungan. (TIM)
0 Komentar